Saya baru saja selesai membaca buku karya mbak Karla M Nashar yang
berjudul Sebelum Cahaya. Buku ini terinspirasi dari lirik lagu Letto dengan
judul yang sama. Sebenarnya ini buku lama, sudah terbit sejak tahun 2008 lalu, namun
karena kondisi keuangan saya saat itu, saya tak mampu membelinya -kalau ingat
masa-masa itu, saya jadi ingin menangis- jadi saya baru membelinya tahun ini.
Menyedihkan sekali bukan, padahal harganya tidak sampai 30 ribu perak. Tapi
bagi saya yang terlahir dari keluarga kurang mampu jumlah segitu sudah sangat
besar.
Saya ingin berbagi mengenai kekaguman saya pada isi buku ini. Ceritanya
klise memang, pilihan tema yang sangat biasa. Sama dengan jenis novel yang
sering saya baca, namun saya mengagumi kepandaian penulis mengolah cerita yang
tadinya biasa menjadi tidak bisa. Saya mengagumi kekuatan cinta yang tergambar
didalamnya. Beberapa kali saya harus merelakan stok air mata saya yang jumlah
tak seberapa membasahi bantal yang saya tiduri. Sial, padahal itu merupakan bantal
satu-satunya yang saya miliki, terpaksalah saya tidur dengan bantal yang
sedikit lembab.
Saya benar-benar mengagumi ketegaran Mariena sang tokoh utama wanita
ketika menunggu kekasihnya pulang, saya sangat tersentuh dengan ucapannya yang
mengatakan “Apapun yang terjadi kamu akan selalu bisa pulang ke dalam hatiku”,
berkali-kali sang tokoh utama wanita mengatakan itu didalam suratnya seolah
ingin meyakinkan sang tokoh pria tentang kekuatan cintanya. Setelah
bertahun-tahun tak ada khabar mereka kembali bertemu di pesisir pantai yang
dulunya menjadi saksi mereka memadu kasih. Dan kenyataan pahit menghempaskan
Mariena, ternyata cintanya telah menjadi manusia cacat dan memilih untuk
mengalah pada mimpinya dan melepaskannya pergi kepelukan lelaki lain. Saya
begitu terhanyut dan merasa seolah-olah berada dalam posisi si wanita. Setelah
6 tahun menunggu khabar berita yang tak kunjung datang, eh ketika bertemu si
lelaki malah menjauhinya dan memintanya menikah dengan lelaki lain. Betapa
hancurnya hati sang wanita. Namun seperti yang saya bilang, buku ini memiliki
alur yang bisa ditebak. Tentu saja berakhir happy ending. Baguslah, tadinya
saya sudah ingin melempar buku ini ke pojok ruangan sakin kesalnya. Seandainya
saja sang penulis membuat tokohnya tidak bersatu, saya bisa pastikan kalau buku
ini akan menjadi penghuni paling bawah lemari buku saya, saperti jenis
buku-buku lain yang tidak saya sukai. Rasanya tidak adil saja setelah penantian
panjang sang wanita tidak bisa mendapatkan cinta sejatinya.
Dan yang ada satu kalimat yang membuat air mata saya langsung menetes
tanpa bisa dicegah, “Non Mariena surat-surat Non pasti akan sampai. Jangan
khawatir Non, bapak akan cari cara untuk menyampaikannya”. Duh betapa mulianya
hati sang bapak, padahal dia sudah diambang batas kehidupan. Masih sempatnya ia
memikirkan amanat yang diberikan padanya bertahun-tahun yang lalu. Amanat untuk
memberikan beratus-ratus lembar surat yang ditulis Mariena untuk Enggar sang tokoh utama pria yang pergi entah kemana.
Saya memang jenis pembaca yang inginnya semua kisah berakhir bahagia.
Pembaca yang berpikiran sempit memang. Sebenarnya saya
sadar jika tak semua kisah akan berakhir begitu, namun saya pikir hidup saya
saja sudah susah masa sih harus ditambahin lagi dengan kesusahan dari cerita dari novel yang saya
baca. Novel merupakan sumber hayalan saya. Inilah asiknya membaca bisa memilih
dunia sesuai dengan keinginan.
Artikel singkat saya ini bukanlah resensi atau
apa. Karena saya hanya ingin menuangkan kekaguman saya pada sebuah buku yang
saya baca dan menghargai karya sang penulis. Terima kasih pada mbak Karla yang
sudah membuat dunia saya sedikit berwarna, habisnya selama ini dunia saya hanya
berwarna hijau dan kuning kemerah-merahan seperti warna pohon sawit dan CPO.
Hahaha..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar